Mungkin karena pertama kali ke sana, saya disambut dengan pertengkaran yang memekakkan telinga. Waktu itu saya melihat kehidupan keluarga yang sama sekali tidak bahagia. Tiap hari saling memaki serta memarahi, sementara anak-anaknya yang masih kecil yang cacat Cuma bisa terdiam serta mendengarkan segala bahasa kebun binatang yang tidak indah. Saya herpes genital ulceras pun masih kecil, mungkin baru berusia 5 atau 6 tahun? Sepupu saya yang sakit itu hanya diam-diam saja mendengar ibu saya membentak, memaki, melempar barang-barang, serta memarahi ayahnya. Saya tidak suka hari-hari saya di rumah kecil di Bekasi itu. Walau saya punya pengalaman yang baik juga, seperti pengalaman pertama kali
naik kereta dengan tante saya (sebelum dia melarikan paman saya serta meninggalkannya dengan tiga anak yang salah satunya masih bayi serta satunya lagi cacat). Tapi selebihnya, memori awal di kota itu tidak baik. Saya selalu diingatkan dengan keluarga “kecil” yang tidak bahagia itu. Saya sedih. Kali kedua saya ke sana, waktu itu mungkin sudah SMP. Tetap saya tidak punya apa-apa yang menyenangkan saat datang ke sana. Berbeda seperti misalnya ketika pergi ke Manado, atau ke Bandung waktu itu juga. Tidak tau kenapa saya tidak suka Jakarta. Auranya terlalu panas, terlalu sibuk, tidak bersahabat, serta … menjengkelkan. Hahahaha. Kamu tahu kadang
ada sesuatu hal yang tidak bisa dijelaskan, misalnya seperti kita membenci sesuatu tanpa alasan yang jelas. Ya seperti saya tidak suka Jakarta ini. Terus, ini cerita tentang yang dulu ya, saya tidak suka Jakarta karena waktu itu pacar saya di sana, sementara saya di Makassar. Dia tidak punya urusan apa-apa di sini. Dulu saya sempat mau ke sana, ke kotanya, walau Cuma sehari. Tapi malah dilarang. Hahahahahahaha. Ya sudahlah. Toh kita juga akhirnya putus serta kini dia sudah menikah dengan bidadari tercintanya yang manis (selamat, abang). Akhirnya The fall of 2014 kemarin saya ke Jakarta lagi, kali ini dalam rangka
menghadiri pesta pernikahan sahabat, saudara, mantan tunangan saya di myspace, soulsister saya, namanya MuT. Nah, ini mungkin akan saya ceritakan agak panjang. Hey kekasih saya yang sekarang, jangan cemburu ya, sungguh ini anggaplah cuma dongeng saja. Jangan kau ambil hati. Tentang Jakarta di Bulan The fall of. Saya tidak tahu bagaimana harus memandang Jakarta setelah semuanya. Ia tidak sama lagi, tentu saja. I really like the truth that I’m having a great time right here with my personal dearest pals. Even so the metropolis themselves includes a distinct story. Saya tidak tahu, tapi mungkin yang akan saya ingat ketika menatap
gedung itu di siang hari akan berbeda dengan apa yang saya ingat ketika melihatnya saat malam hari. Perjalanan di bulan The fall of kemarin memang mengubah semuanya. Saya datang ke Jakarta dengan ingatan akan abang, yang sudah lama berlalu. Heee.. kenapa? Karena saya ingat saya sempat sangat ingin ngebet sekali pake banget ke ibukota ini Cuma untuk bertemu denganmu, Abang! Hey Indra, ini saya berdiri di kotamu dulu. Oh, itu bundaran HELLO THERE, tempatmu menghabiskan waktu dengan teman-temanmu sepanjang malam. Tapi benar katamu, Jakarta jauh lebih hidup serta menyenangkan ketika malam hari. Jadi, inikah Jakartamu? Ketika dulu saya sempat berniat
datang ke sini untuk bertemu abang tetapi abang melarang. Ketika saya datang, kukira Abang sudah tidak ada di sana, tidak juga bayangan abang. Ini saya menciptakan jejak Abang sendiri, karena ya itu, satu-satunya alasan saya menyukai Jakarta dulu karena ada abang di sana. Tapi sepulangnya dari sana, saya punya memori baru. Khususnya tentang Jakarta malam hari. Melewati jalanan sepi dengan lampu kota yang temaram, saya tidak sendiri mengenal kotamu, Abang. Saya berpegangan pada punggung seorang lelaki. Dia membawa saya dari barat ke timur, lalu dari utara ke selatan. Dia menunjukkan pada saya kotamu, Beat. Abang, tau kota tua yang Abang
pernah ceritakan pada saya, bahwa saya harus ke sana? Waktu itu, sedang ada festival kota tua. Tepatnya ia lebih terlihat seperti pasar malam. Penuh sesak, ramai. Saya ingat antrian WC umum yang sangat panjang. Abang, saya takut hilang di kota yang asing ini. Tapi untung saya tidak sendiri. Ada dia yang menemani, dia bilang, pegangan pada bajunya agar tidak hilang. Dia memegang pundak saya agar tetap dekat dengannya. Dia menjaga saya agar tetap aman, Abang. Dia sangat baik, kan? Kecewa dengan kota tua mu, akhirnya saya memutuskan ke temat lain. Ke taman kota saja, ya, katanya. Tapi, sebelunya dia mengajak
saya ke teater belakang IKJ, katanya, “Kamu pantasnya nonton ini, ada Butet Kertarajasa, cerita teatrikal Semar… kukira kamu akan suka”, katanya. Tapi sayang malam telah larut serta gedung telah tutup. Lalu dia mengajak saya ke monas, Abang. Malam hari. Saya kagum pada kotamu, Beat. Saya suka gedung pencakar langit yang terlihat lebih anggun serta elegan pada malam hari. Udara juga tidak begitu panas serta sesak. Jakarta jauh lebih ramah ketika malam. Akhirnya, kami berhenti di daerah Menteng. Setelah dia—teman lelaki saya yang baik itu memperlihatkan tempat-tempat tertentu. Ini istana merdeka, ini tempat Jokowi, ini tugu Proklamasi, ini rumah Ibu Super.
John sampailah kami di taman Suropati. “Taman yang sopan serta asyik, ya Suropati ini”, katanya. Oke, jadi kita turun, lalu berjalan masuk ke taman yang penuh dengan kehidupan ini. Menyenangkan sekali, seakan hidup baru saja dimulai. Banyak komunitas di sana. Ini malam minggu, tapi malam lainnya juga tetap ramai seperti ini, katanya. Ada anak muda yang duduk sambil bermain audio, dengan cello serta biola, serta perkusi sederhana. Kereen. Ada yang berbaring di atas rumput, ada yang mengajak anjingnya berjalan-jalan sambil sesekali melempar Frisbee. Walau ramai, tapi taman ini bersih, tidak seperti taman di kota asalku, Abang. Lalu kami menemukan bangku
taman yang kososng, herpes genital wikipedia español tepat di bawah pohon raksasa. Di dekat kami ada sekumpulan muda-mudi yang duduk melingkar sambil bernyanyi serta bermain gitar. Oh, menyenangkan sekali!
mengapa ibu kota jakarta ramai dan panas sekali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar